Pelajaran dari Wangi Gaharu
Oleh Achmad Siddik Thoha
Dalam perjalanan hidupnya pohon akan mengalami tantangan dan gangguan dari lingkungan luar tubuhnya. Jamur dan bakteri bisa menimbulkan penyakit pada pohon. Pohon juga akan terluka bila ada gangguan benda tajam atau bagian tubuhnya mengalami patah.
Saat pohon sakit atau terluka, ia mempunyai mekanisme sendiri untuk menyembuhkan dan menutup lukanya. Salah satu proses penyembuhan penyakit dan luka pada pohon bisa melalui keluarnya cairan atau getah dari tubuh tanaman. Getah yang keluar dari batang dan kemudian memadat sebagai respon untuk penyembuhan, pada sebagian pohon yang menghasilkan produk yang bernilai tinggi. Fenomena inilah yang dijumpai pada pohon yang menghasilkan gaharu.
Gaharu merupakan sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain). Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya.
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya. Pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kilogram . Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula. Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2 juta.
Para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi atau jamur, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu.
Pelajaran menarik dari gaharu bahwa infeksi atau serangan penyakit yang menimpa pohon gaharu ternyata meningkatkan nilai pohon gaharu. Pohon gaharu merespon datangnya penyakit dengan menghasilkan getah damar yang wangi (gaharu) yang nilai dan harganya sangat tinggi. Makin intensif infeksi makin pekat gaharu yang dihasilkan oleh pohon gaharu. Penyakit dan luka pada tubuh gaharu tidak direspon dengan negatif namun justru positif sehingga penyakit memicu tingginya kualitas pada dirinya.
Gangguan dari lingkungan luar pada kita tidak hanya berupa penyakit atau luka secara fisik. Justru “penyakit” dan “luka” pada kehidupan manusia berupa kegagalan dalam karir, musibah, kecelakaan yang menimbulkan guncangan hidup atau cacat permanen, usaha yang bangkrut, riset yang tak menemukan hasil dan sebagainya. Kegagalan atau ujian tersebut perlu direspon positif sebagai pemicu bagi meningkatnya kualitas diri. Tidak sedikit kita temukan orang yang tatkala ujian hidup membuatnya “luka” dan terpuruk dalam kehidupan, ia kemudian merespon positif dengan segera bangkit dari keterpurukan, menyembuhkan “luka” tersebut dengan usaha yang maksimal dan kreatif. “Penyakit dan luka” tersebut justru menjadi pemicu untuk perbaikan diri dan akhirnya ia bisa mencapai prestasi tertinggi yang tak hanya mengharumkan nama dirinya namun juga mengharumkan lingkungan sekitarnya.
Terkadang untuk meningkatkan kualitas diri perlu ujian kegetiran berupa “penyakit” atau “luka” yang memaksa kita kemudian merespon dengan melakukan usaha yang maksimal, kreatif dan inovatif. Orang yang sukses tidak hanya diukur dari prestasi yang ia peroleh, namun bagaimana ia bisa merespon “luka” atau cobaan hidup dan kemudian bangkit, “menyembuhkan luka” dan menghasilkan karya yang membuat harum diri dan sekitarnya. Seperti gaharu, manusia yang terkena cobaan harusnya bisa bangkit, " menyembuhkan" diri dan mempersembahkan "wewangian" amal/karya dari dirinya yang bermanfaat luas.
0 komentar:
Posting Komentar