Salah satu kejadian kebakaran lahan pada malam hari di Kapuas Kalimantan Tengah (dok. pribadi-Achmad Siddik Thoha) |
Sudah hampir dua bulan saya menjalani penelitian di
Kalimantan Tengah. Banyak lokasi saya kunjungi. Banyak kisah saya tulis. Tentu
saja banyak inspirasi dan hikmah hidup saya peroleh. Diantara hikmah hidup yang
saya peroleh adalah bagaimana masyarakat khususnya di Kalimantan tak
terpisahkan hidupnya dari membakar lahan.
Membakar lahan sudah menjadi tradisi tertua dalam
peradaban manusia. Membakar, bukan sekedar untuk keperluan membersihkan lahan
agar mudah ditanami. Membakar juga dalam rangka menambah nutrisi tanah yang
tadinya miskin nutrisi. Membakar juga dalam rangka mengusir hama yang bersarang
di lahan yang akan dijadikan areal pertanian.
Pada keperluan di luar pekerjaan menanam, membakar
dipakai untuk senjata. Bukan senjata untuk membunuh, namun senjata untuk
mengusir dan mengarahkan. Mengusir binatang buruan dan mengarahkan pada lokasi
yang mudah untuk ditangkap atau dijerat. Mengusir ikan di sungai atau rawa dan diarahkan
pada tempat yang mudah dijala atau ditangkap.
Budaya pertanian yang kental turun menurun masih
diperagakan oleh masyarakat di Kalimantan. Mereka membakar dengan tujuan apapun
dalam kondisi terkontrol. Mereka membakar pada saat yang tepat. Masyarakat
lokal yang masih tradisional memiliki pengetahuan dan keterampilan yang arif
dalam membuka lahan.
Dengarlah pengakuan salah satu warga Lahei Mangkutup
Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah,
“Ketika awal kemarau kami mulai menebang pohon dan
menebas belukar. Setelah semua rebah, kami tunggu tebangan dan tebasan itu
hingga kering. Pohon-pohon yang rebah kami biarkan sekitar sebulan agar kering
betul. Semak belukar dan alang-alang kami keringkan sekitar dua minggu sebelum
dibakar. Setelah siap dibakar, kami memberitahu warga lain yang lahannya
bersebelahan agar bisa saling menjaga. Setelah membakar kami tetap berjaga
hingga api benar-benar padam. Setelah api benar-benar padam barulah kami menunggu
sampai hujan turun agar besar untuk kemudian menanam.”
Budaya membakar yang selalu terkontrol ini masih
terpelihara dan terus dipraktekkan masyarakat Kalimantan. Bagi masyarakat
Kalimantan, kebakaran adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk keseimbangan
ekosistem asal dilakukan secara terkendali. Agar api terkendali, dibutuhkan
keikhlasan menunggu saat yang tepat untuk membakar yakni saat bahan-bakar
benar-benar kering dan kondisi angin tenang. Juga perlu tiap orang untuk saling
mengawasi saat membakar. Yang juga penting adalah menjaga sampai api benar-benar
padam sebelum meninggalkan lahannya.
Kebiasan petani yang selalu bisa mengontrol lahannya
dari api tak terkendali membuat saya terhenyak sejenak. Benar adanya, hidup ini
butuh keikhlasan untuk bisa menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu
yang sangat penting. Teburu-buru dan ceroboh melakukan sesuatu yang penting dan
berisiko tinggi bisa membahayakan diri sendiri bahkan orang lain.
Hikmah lain dari petani yang selalu terkontol dalam
mebakar lahannya adalah keikhlasan dalam menjaga dan mengawasasi lahan
tetangganya. Bila tidak ada keikhlasan untuk saling mengawasi, kecerobohan satu
orang yang tidak bisa mengontrol apinya bisa menjalar ke lahan lain dan
akhirnya banyak yang dirugikan. Demikian dalam hidup, bila ingin tetap dalam kontrol
moral dan etika serta tuntunan agama, maka saling mengingatkan dan memberi
nasehat bisa mendatangkan kebaikan bersama dan menjauhkan dari kemudaratan yang
besar.
Terakhir, selesaikan pembakaran sampai api padam.
Maknanya, kita harus benar-benar menuntaskan masalah sampai tuntas agar suatu
saat tidak jadi api dalam sekam, seolah selesai ternyata masih membara dan bisa
meledak jadi “api” masalah yang besar.
Salam arif lingkungan!
Kapuas, 24 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar