Memenangkan Peperangan dalam Jiwa
Oleh Achmad Siddik Thoha
“Pak, kita bawa bekal makan siang di hutan nanti?”
Pertanyaan Pak Bai, warga desa Bandar Agung Kecamatan Topos Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, pekerja Pengukuran Kawasan Hutan untuk Rehabilitasi Hutan, membuat saya bimbang.
“Bagaimana ya, Pak? Bawa saja, Pak. Mungkin saya tidak kuat puasa sambil naik bukit, jadi saya bisa langsung batalkan. Kalau Bapak dan yang lain bagaimana?”
“Kami puaso (puasa).” Suara mantap keluar dari mulut Pak Bai.
Pak Anshori, pekerja lain yang akan membantu kami menimpali,”Saya tetap puasa, ini kan latihan menahan hawa nafsu.”
Aku terhenyak mendengar jawaban sederhana mereka namun sangat dalam maknanya. Aku bimbang karena pekerjaan pengukuran hutan untuk kegiatan rehabilitasi ini sangat berat. Aku dan tim harus naik turun bukit yang terjal, menuruni lembah yang curam dan berjalan melintasi hutan dan semak belukar rata-rata 10 km per hari. Dalam kondisi tidak berpuasa saja, kami sangat kelelahan. Warga desa sekitar hutan yang menjadi pekerja kami juga mengeluhkan pekerjaan pengukuran luas dan pemancangan patok batas yang sungguh melelahkan. Mengukur kawasan hutan seluas 2000 Ha bukan pekerjaan yang mudah. Belum lagi yang dimasuki adalah hutan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Bengkulu (TNKS) yang terkenal dengan bukit-bukitnya yang terjal.
Pukul 08.00 kami mulai berangkat menuju patok batas kawasan TNKS di Desa Bandar Agung Kecamatan Topos Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Jauh nian perjalanan menuju patok batas kawasan hutan ini. Kami baru mulai bekerja apabila sudah menemukan patok batas kawasan yang akan dijadikan titik awal menentukan luasan hutan. Aku perkirakan perjalanan menuju batas hutan ini sudah menempuh jarak 3 km dengan medan mendaki yang sangat melelahkan.
Sampai di batas kawasan hutan TNKS, badanku mulai lemas. Untungnya ada sungai dekat batas hutan. Langsung aku mengguyur kepala yang mulai kepanasan akibat terik mataharari yang sangat menyengat. Tak lupa aku berwudlu agar muka dan anggota badan lain menjadi segar.
Pekerjaan mengukur dimulai. Aku bersama seorang Polisi Hutan (Polhut) bernama Pak Herwansyah dan dua pekerja, Pak Anshori dan Pak Supen, mulai berjalan menyusuri hutan yang sudah mulai rusak akibat kebakaran dan perambahan. Pak Anshori dan Pak Supen berjalan tenang dimana masing-masing memanggul 10 patok yang cukup berat.
Jalan semakin menanjak dan panas matahari mulai terik. Kami berusaha menghindari jalan yang terlalu terjal dengan mencari punggunggan bukit dan jalan setapak. Ternyata jalur yang kami lewati tidak sesuai dengan rencana awal. Kami harus bolak-balik untuk menuju lokasi sesuai arah namun tidak sampai mendaki bukit. Akhirnya kami terhenti di depan sebuah bukit tinggi berbatu. Bukit ini seperti dinding batu yang sangat tinggi.
Kami mulai kelelahan. Aku lihat Pak Anshori menemukan pondok masyarakat yang membuka lahan kopi di dalam hutan. Beliau lalu memanggilku.
“Pak, kalau puasanya batal, saya buatkan kopi, ya?”
“Tunggu dulu, Pak. Saya istirahat dulu.” Jawabku.
“Bagaimana Pak Herwansyah, kalau kita harus mendaki bukit itu, saya akan batalkan puasa saya. Saya sudah lemas nih, Pak.”
Pak Herwansyah terdiam. Dia juga sangat kelelahan. Bibirnya mulai memutih pertanda mulutya sangat kering dan kehausan.
“Kita istirahat dulu, Pak. Nanti kita lanjut lagi.” Pak Herwansyah mencoba menahan niatku membatalkan puasa.
Akhirnya kami memutuskan untuk istirahat di pondok. Aku tertidur sejenak. Suara Pak Anshori, Pak Supen dan pemilik pondok mengobrol ,sayup-sayup terdengar. Aku kesluitan tidur karena terlalu kelelahan menahan haus, penat dan lapar.
Setelah sekitar 40 menit aku berbaring, tubuhku mulai segar. Niatku membatalkan puasa kuurungkan saja. Kulihat wajah Pak Anshori sangat segar. Meski tubuhnya kurus dan umurnya sudah di atas lima puluh tahun beliau tidak menunjukkan kelelahan meskipun berpuasa sambil bekerja berat. Aku mulai menemukan semangat setelah melihat senyum Pak Anshori.
“Ayo kita guyur (jalan)” Aku mengajak mereka beranjak dari istirahat.
Perjalanan dilanjutkan. Aku dan Pak Herwansyah tak pernah melewatkan untuk mengguyur kepala setiap menemukan sungai kecil di dalam hutan. Dengan begitu, kami berdua bisa bertahan. Aku juga terus mengingat bahwa apa yang sedang kujalani tidak ada apa-apanya dengan para pejuang kemerdekaan dulu yang berperang menaklukkan penjajah sambil berpuasa. Aku juga berusaha memotivasi diri dengan kisah-kisah para pejuang hebat yang meraih kemuliaan karena mereka tetap berpuasa meski harus menempuh perjalanan dengan berselimut badai pasir dan bersiram panas terik matahari.
Dengan langkah yang mulai gontai, kami tetap meneruskan pekerjaan sampai selesai. Pukul 15.30 akhirnya kami sampai Desa Bandar agung kembali setelah berjalan sekitar 10 km melintasi hutan, padang alang-alang, kebun kopi dan semak belukar di bawah terik matahari.
Saat yang ditunggu telah tiba. Segelas air telah menutup puasa yang sangat berkesan dalam hidupku hari ini. Aku menemukan makna kesabaran dan pelajaran menahan nafsu dari perjalananku hari ini.
Sesungguhnya kemenangan sejati adalah saat kita bisa mengalahkan hawa nafsu. Pertarungan jiwa harus terlebih dulu dimenangkan sebelum kita memenangkan pertarungan fisik. Betapa banyak peristiwa besar yang terjadi dalam sejarah dimana saat kemenangan dalam pertarungan jiwa dicapai maka kesuksesan besar akan diraih pula.
Minggu, 07 Agustus 2011
Minggu, 07 Agustus 2011
Memenangkan Peperangan dalam Jiwa
14.56
Achmad Siddik Thoha
No comments
0 komentar:
Posting Komentar