Apa Kabar Sahabat POHON INSPIRASI

Blog Berbagi Cinta dan Inspirasi untuk Alam

Jumat, 31 Agustus 2012

Jumat, 31 Agustus 2012

Inspirasi Hidup dari Kebakaran Hutan dan Lahan (Bagian 1)

Salah satu kejadian kebakaran lahan pada malam hari di Kapuas Kalimantan Tengah (dok. pribadi-Achmad Siddik Thoha)
Sudah hampir dua bulan saya menjalani penelitian di Kalimantan Tengah. Banyak lokasi saya kunjungi. Banyak kisah saya tulis. Tentu saja banyak inspirasi dan hikmah hidup saya peroleh. Diantara hikmah hidup yang saya peroleh adalah bagaimana masyarakat khususnya di Kalimantan tak terpisahkan hidupnya dari membakar lahan.

Membakar lahan sudah menjadi tradisi tertua dalam peradaban manusia. Membakar, bukan sekedar untuk keperluan membersihkan lahan agar mudah ditanami. Membakar juga dalam rangka menambah nutrisi tanah yang tadinya miskin nutrisi. Membakar juga dalam rangka mengusir hama yang bersarang di lahan yang akan dijadikan areal pertanian.

Pada keperluan di luar pekerjaan menanam, membakar dipakai untuk senjata. Bukan senjata untuk membunuh, namun senjata untuk mengusir dan mengarahkan. Mengusir binatang buruan dan mengarahkan pada lokasi yang mudah untuk ditangkap atau dijerat. Mengusir ikan di sungai atau rawa dan diarahkan pada tempat yang mudah dijala atau ditangkap.
Budaya pertanian yang kental turun menurun masih diperagakan oleh masyarakat di Kalimantan. Mereka membakar dengan tujuan apapun dalam kondisi terkontrol. Mereka membakar pada saat yang tepat. Masyarakat lokal yang masih tradisional memiliki pengetahuan dan keterampilan yang arif dalam membuka lahan.

Dengarlah pengakuan salah satu warga Lahei Mangkutup Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah,

“Ketika awal kemarau kami mulai menebang pohon dan menebas belukar. Setelah semua rebah, kami tunggu tebangan dan tebasan itu hingga kering. Pohon-pohon yang rebah kami biarkan sekitar sebulan agar kering betul. Semak belukar dan alang-alang kami keringkan sekitar dua minggu sebelum dibakar. Setelah siap dibakar, kami memberitahu warga lain yang lahannya bersebelahan agar bisa saling menjaga. Setelah membakar kami tetap berjaga hingga api benar-benar padam. Setelah api benar-benar padam barulah kami menunggu sampai hujan turun agar besar untuk kemudian menanam.”

Budaya membakar yang selalu terkontrol ini masih terpelihara dan terus dipraktekkan masyarakat Kalimantan. Bagi masyarakat Kalimantan, kebakaran adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk keseimbangan ekosistem asal dilakukan secara terkendali. Agar api terkendali, dibutuhkan keikhlasan menunggu saat yang tepat untuk membakar yakni saat bahan-bakar benar-benar kering dan kondisi angin tenang. Juga perlu tiap orang untuk saling mengawasi saat membakar. Yang juga penting adalah menjaga sampai api benar-benar padam sebelum meninggalkan lahannya.

Kebiasan petani yang selalu bisa mengontrol lahannya dari api tak terkendali membuat saya terhenyak sejenak. Benar adanya, hidup ini butuh keikhlasan untuk bisa menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu yang sangat penting. Teburu-buru dan ceroboh melakukan sesuatu yang penting dan berisiko tinggi bisa membahayakan diri sendiri bahkan orang lain.

Hikmah lain dari petani yang selalu terkontol dalam mebakar lahannya adalah keikhlasan dalam menjaga dan mengawasasi lahan tetangganya. Bila tidak ada keikhlasan untuk saling mengawasi, kecerobohan satu orang yang tidak bisa mengontrol apinya bisa menjalar ke lahan lain dan akhirnya banyak yang dirugikan. Demikian dalam hidup, bila ingin tetap dalam kontrol moral dan etika serta tuntunan agama, maka saling mengingatkan dan memberi nasehat bisa mendatangkan kebaikan bersama dan menjauhkan dari kemudaratan yang besar.

Terakhir, selesaikan pembakaran sampai api padam. Maknanya, kita harus benar-benar menuntaskan masalah sampai tuntas agar suatu saat tidak jadi api dalam sekam, seolah selesai ternyata masih membara dan bisa meledak jadi “api” masalah yang besar.

Salam arif lingkungan!
Kapuas, 24 Juni 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Ways of Life from Kapuas River (Hikmah Kehidupan dari Sungai Kapuas)

Cas/perahu kecil di Sungai Kapuas Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah (dok. pribadi) 




Sore ini, untuk kesekian kalinya kuletakkan badanku di pinggir dermaga Pelabuhan Sungai Kapuas di Kuala Kapuas. Pelabuhan ini selalu memanggilku untuk mendatanginya. Semilir anginnya yang sejuk. Pemandangan awannya yang indah bak kapas bergulung. Juga suasana tenang alirandi salah satu sungai terbesar di Indonesia ini.

Sore ini, kupandangi riak air Sungai Kapuas dengan lebih lekat. Tampak riak tenang mengiringi soreku yang indah. Air beriak lambat cenderung tenang, setenang hatiku sore ini. Ya, lambat berarti tenang.

Perahu bermesin lalu-lalang melintas. Aku tidak terlalu tertarik melempar pandangan padanya. Aku lebih memilih memandang dalam ke perahu yang dikayuh seorang Bapak paruh baya. Ia mengayuh pelan namun mantap. Lambat memang tapi kulihat hatinya tenang. Ia yakin lambat tak berari lemah. Lambat berarti bersabar dan tenang.

Aku akhirnya melabuhkan pandangan pada perahu besar pengangkut barang.  Kapal tambun ini terus bergerak meski lajunya hanya kurang dari 20 km/jam. Ia harus menunaikan tugasnya mengantar barang ke tempat yang sangat membutuhkannya. Tak peduli ia harus bergerak lambat. Ia tak ambil pusing dengan perlombaan bergegas dari para pengendara kendaraan bermotor di daratan. Sungai telah menjadi jiwa bagi setiap perahu dan pengendalinya.
Kapal Penumpang dan Barang yang menjadi andalan transportasi air  di Kabupaten Kapuas (dok. pribadi)


Dengan makin berkembang pesatnya infrastruktur jalan dan jembatan, tak berarti mobilitas warga melalui Sungai Kapuas berhenti. Karakter masyarakat sungai sudah melekat sejak sungai ini terbentuk entah berapa ribu tahun lalu. Jalan boleh terus dibuat dan diperpanjang. Namun geliat sungai Kapuas tak pernah terhenti.

Aku begitu menyukai karakter masyarakat yang hidupnya sudah menyatu dengan sungai. Mereka setiap hari berjalan dengan kendaraan lambat. Lambat bukan berarti lemah. Lambat justru menjadi ciri masyarakat sungai menyesuaikan dengan ketenangan aliran sungai. Cepat justru akan memperkeruh suasana sungai yang tenang. Lambat bermakna ketenangan bagi budaya masyarakat yang hidup menyatu dengan sungai.

Bandingkan dengan budaya masyarakat yang kini tergantung dengan transporasi darat. Jalan sudah menjadi salah satu tempat tercerabutnya nyawa-nyawa manusia bahkan hewan. Orang di jalanan tak mau berjalan lambat. Semua ingin cepat dan tak ingin dihambat. Ketenangan pun menjadi fenomena langka. Lambat justru dianggap menghambat. Akhirnya banyak umpat-mengumpat di jalanan.

Lambat di sungai tak membuat orang merasa terhambat apalagi mengumpat. Masyarakat sungai sangat paham bahwa mereka takkan bisa berjalan cepat karena memang karakter sungai yang mengharuskan mereka lebih cocok untuk bergerak lambat. Mereka tetap tenang karena pada saatnya mereka juga akan sampai.

Lambat juga berarti kehati-hatian. Jarang ditemukan kasus kecelakaan antar perahu di Sungai Kapuas. Tentu saja kecelakaan sangat sulit ditemukan karena setiap perahu berjalan dengan lambat dan mudah mengantisipasi kejadian yang merugikan.

Lambat juga berarti terkontrol. Sangat sulit bergerak sangat cepat diatas permukaan air. Perahu yang bergerak sangat cepat di permukaan air lebih sulit mengendalikannya daripada di darat. Bila ada perahu yang bergerak sangat cepat, maka riak sungai akan menjelma menjadi gelombang dan ini merugikan perahu yang lain. Perahu yang terhempas gelombang akan sedikit teromban-ambing. Sebaliknya bila perahu melintas lambat, perahu yang berpapasan tidak merasakan riak tinggi yang menghempasnya sehingga tetap dalam kendalil.

Dan lambat juga adalah kesempatan mengambil banyak hikmat. Hikmat berupa renungan akan keindahan alam di sekitar sungai. Bergerak lambat diatas sungai akan benyak waktu menikmati nikmat Tuhan di sepanjang sungai. Nikmat berupa alam yang indah, hidup yang damai dan aliran air yang tenang.

Kota Air ini mengajarkanku untuk senantiasa tenang. Air yang lambat membuat semua terlihat tenang. Perahu yang lambat merambat tanda kesabaran tertambat dan jauh dari umpat-mengumpat seperti kebanyakan warga di tempat lain. Terima kasih,Allah, telah menciptakan Kapuas yang penuh hikmat.

Lestari sungai Kapuas!

Salam lestari!

*catatan ringan penelitian
Kapuas, 9 Juli 2012

Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan dalam Memprediksi Musim Kemarau

“Bila kami terlambat membakar lahan, maka kami tidak bisa menanam padi sepanjang tahun”

Kalimantan selain sebagai pulau yang kaya akan sumberdaya alam juga kaya dengan pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal yang berasal dari suku-suku asli yang berdiam di Kalimantan sampai saat ini terus dipertahankan. Pengetahuan lokal atau local knowledge dalam mengelola sumberdaya alam dan berinterkasi dengan alam dilakukan secara arif dan ramah lingkungan. Sebagian pakar sosial menyebutnya dengan kearifan lokal (local indigenous)

Salah satu bentuk kearifan lokal suku-suku di Kalimantan adalah bagaimana mereka memprediksi datangnya musim kemarau. Musim kemarau sangat ditunggu kehadirannya bagi suku asli karena akan menentukan kapan mereka bisa membuka lahan untuk kegiatan pertanian. Bagi masyarakat tradisional, model pertanian yang dipraktekkan adalah sistem perladangan yang mengandalkan curah hujan untuk kebutuhan air bagi tanaman. Jenis tanaman perladangan yang ditanam umumnya adalah padi ladang atau padi tadah hujan. Padi ini merupakan padi jenis lokal yang bisa dipanen secepatnya 6 bulan dan selambatnya 9 bulan dalam setiap musim tanam..

Dalam perladangan, prediksi yang tepat akan datangnya musim kemarau akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan tanaman pertanian. Bila petani ladang terlambat mengetahui musim kemarau, maka ladang yang dibuka dengan sistem tebas bakar (slash and burning) akan mengalami kegagalan. Seperti yang diungkapkan warga Kapuas Kalimantan Tengan (Kalteng) kepada saya dalam sebuah wawancara,

“Bila kami terlambat membakar lahan, maka kami tidak bisa menanam padi sepanjang tahun”

“Mengapa bisa tidak menanam?” tanya saya kembali

“Bila terlambat membakar sedangkan musim kemarau sudah lewat, maka hasilnya tidak bagus dan nanti yang tumbuh justru rumput. Padi kami akan kalah bersaing tumbuhnya dengan rumput” jawab warga lokal tersebut.

Lahan yang akan ditanami padi ladang haruslah bersih dan ini membutuhkan kondisi musim kemarau yang tepat. Hasil pembakaran yang dilakukan di musim kemarau akan menghasilkan pembakaran sempurna. Pembakaran yang sempurna tidak menyisakan tumbuhan bawah yang tumbuh di ladang sehingga ladang dengan mudah ditabur benih. Benih yang tumbuh di lahan yang bersih dari tumbuhan lain akan tumbuh dengan kualitas terbaik. Disamping itu, abu hasil pembakaran limbah penebasan dan penebangan, akan menambah nutrisi tanah sehingga kesuburannya meningkat.

Beberapa kearifan lokal Kalimantan tentang bagaimana masyarakat memprediksi datangnya musim kemarau adalah sebagai berikut :

1. Beje (Kolam Perangkap Ikan) Sudah surut

Beje (kolam tradisiional)  yang sudah jadi
Di beberapa lokasi di Kalimantan, warga lokal memiliki cara menangkap ikan secara tradisional yang dinamakan Beje. Beje adalah sebuah kolam yang airnya berasal dari sungai. Ukuran Beje bervariasi dari seluas 10 m2 hingga 1000 m2 atau lebih. Pada saat musim hujan, air sungai meluap dan memenuhi lubang atau kolam Beje. Ikan-ikan dari sungai pun turut masuk ke Beje bersama aliran air. Ketika air sungai surut sehinngga tidak ada supplai air ke Beje. Beje pun ikut surut sehingga ikan terperangkap di Beje tidak bisa kembali ke Sungai. Dengan mudah para pemilik Beje menangkapi ikan yang terjebak. Pada musim orang menangkap atau memanen ikan dari Beje itulah saat kemarau tiba.

2. Ikan banyak turun ke muara sungai.
Ketika musim hujan, air di hulu dan hilir sungai tersedia melimpah. Sebaliknya ketika hujan mulai berkurang aliran sungai di hulu sungai mulai surut. Itulah saatnya ikan-ikan mencari tempat untuk bisa tetap bertahan hidup. Maka, bila saat kemarau tiba, ikan-ikan bergerak ke muara karena di sungai muara masih cukup air.

3. Ikan Sepat Layang Menggumpal di Udara.
 Fenomena ini tidak banyak diperhatikan banyak orang. Saya pun penasaran untuk melihatnya langsung. Fenomena banyaknya Ikan Sepat Layang menggumpal di udara ketika musim kemarau tiba diungkapkan oleh Pak Nau Don Yusias, salah satu pemuka Adat Suku Dayak yang menjadi Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Propinsi Kalimantan Tengah. Pernyataan dari Pak Don ini saya percayai dan saya yakini sebagai fenomena alam yang logis, karena ikan Sepat layang akan mencari tempat yang banyak airnya untuk melanjutkan hidupnya.

Ikan Sepat layang

4. Rontoknya daun-daun pepohonan.
Ini sebuah fenomena umun yang mudah dikenali banyak orang namun seringkali luput dari perhatian. Tidak begitu halnya dengan petani. Mereka begitu memperhatikan fenomena alam karena alam memberi sinyal apa adanya. Ketika banyak pepohonan merontokkan tanamannya maka musim kemarau sudah tiba. Pohon-pohon karet dan Pohon Pantung bahkan hanya menyisakan cabang dan rantingnya saja di musim kemarau.

Pohon Pantung atau Jelutung

Masyarakat tradisional meyakini bahwa prediksi mereka sangat tepat dan tak pernah meleset. Ketika saya konfirmasi pada salah satu Kepala Desa di Kecamatan Mantangai Kapuas tentang akurasi prediksi cuaca masyarakat lokal dibandingkan dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dia menjawab,

“Prediksi hampir sama, Pak. Tapi saya lebih meyakini prediksi cuaca dari pengetahuan lokal, karena sudah terbukti tak pernah meleset.

Dari berbagai prediksi cuaca berdasarkan kearifan lokal masyarakat tradisional Kalimantan maka musim kemarau secara periodik terjadi mulai bulan Juli dan puncaknya Bulan September setiap tahun. Mulai bulan Oktober hujan mulai turun dan masyarakat petani mulai menanam benih dan bibit-bibitnya.

Meski tidak ada data parameter cuaca dan iklim dari masyarakat tradisional tentang prediksi musim kemarau, namun fenomena alam tak pernah bohong. Alam menampilkan gejala-gejala cuaca apa adanya. Hanya manusia yang sangat dekat interaksi dengan alamlah yang tahu persis gejala alam ini.

Manusia yang dekat dengan alam tak ingin membohongi informasi karena dia sudah diberi banyak karunia dan menjadi penerus ilmu yang diberikan Tuhan. Adapun sebagian manusia ditemukan memanipulasi data dan informasi karena merasa ilmu yang dimilikinya berasal dari kemapuannya sendiri.

Kearifan masyarakat tradisioan Kalimantan mengajarkan pada saya dan mungkin kita akan pentingnya selalu dekat dengan alam untuk bisa dengan arif mengelola sumberdaya alam. Alam adalah amanah yang telah dipecayakan Tuhan pada kita untuk dikelola dengan arif dan bijaksana. Bila alam sudah dikelola dengan arif, maka kerusakan bumi akan bisa dikurangi.

Salam arif lingkungan!

Sumber Gambar


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates